Beranda | Artikel
Hukum Sepasang Suami Istri Merekam Video Intim
Senin, 5 Oktober 2015

Suami Istri Merekam Video Intim

Segala puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan pengikutnya.

Sebagian pasangan suami istri (pasutri) merekam video hubungan intim mereka baik dalam proses pemanasan maupun dalam intinya. Ada yang beralasan itu dalam rangka membangkitkan semangat dan syahwat. Ada yang hanya ‘iseng’dan adapula yang mengatakan itu untuk keperluan dokumentasi. Sebagian orang berdalih bahwa ada orang yang dianggap berilmu yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Sebenarnya, apa hukum di dalam Islam mengenai hal ini?

Para ulama rabbani di zaman ini melarang pasutri merekam video hubungan intim dengan argumentasi sebagai berikut:

  1. Membuat video yang di dalamnya ada wanita, apalagi wanita tersebut tidak menutup aurat bahkan telanjang.

Para ulama rabbani di zaman ini memang berselisih pendapat dalam menetapkan hukum video (gambar bergerak atau motion pictures). Pembaca silakan merujuk ke artikel atau ceramah lain mengenai silang pendapatnya, adapun artikel ini tidak membahasnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa para ulama tersebut bersepakat apabila di dalam video tersebut ada wanita, khususnya yang tidak menutup aurat bahkan telanjang, maka video semacam itu diharamkan dengan tegas.

Ini yang kami ketahui dari Syaikh Saad bin Turkiy Al-Khotslan hafizhahullah (anggota Haiah Kibaril Ulama) saat menghadiri kajian (sesi fiqih kontemporer) beliau di Riyadh, Saudi Arabia sekitar dua tahun lalu.

  1. Orang-orang yang pertama dan sering melakukan hal ini adalah dari kalangan orang kafir barat.

Karenanya, merekam video pasutri sedang berhubungan intim adalah bentuk mengikuti budaya orang kafir dan ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud no. 4033 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dinilai hasan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

  1. Sebagai bentuk sadd adz-dzari’ah (menutup segala jalan) menuju perbuatan haram, kemungkaran dan penyakit sosial lainnya, seperti tersebarnya video porno, anak-anak melihat hubungan intim orang dewasa, fitnah antara suami istri, rusaknya rumah tangga dan kerusakan lainnya yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Teknologi bagaimanapun canggihnya, pasti ada kekurangan. Manusia sepintar apapun menutupi aibnya bisa saja ada celah yang terlupakan.

Jika pasutri merekam video hubungan mereka, maka bisa saja suatu ketika video tersebut jatuh ke tangan orang lain. Banyak jalannya, seperti:

  • Data di komputer atau HP dihack oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
  • Alat yang digunakan (kamera atau HP) hilang dicuri orang dan videonya masih tersimpan.
  • HP yang digunakan diperbaiki oleh service center dan videonya masih ada lalu dicopy teknisi.
  • Pasutri meletakkan HP secara sembrono dan dimainkan oleh anak-anak mereka.
  • Tak jarang salah satu dari pasutri itu sendiri yang menyebarkan karena kedunguannya.

Hal seperti ini sudah umum terjadi.

Akibatnya, orang lain bahkan anak-anak melihat video porno yang jelas diharamkan di dalam agama. Bahkan tidak sedikit pula kasus suami istri bercerai dalam kondisi hubungan yang buruk, sementara salah satu dari keduanya menyimpan video intim mereka. Video tersebut kemudian diperlihatkan kepada orang lain untuk membuat kesan buruk tentang mantan pasangannya.

Adapun jatuhnya video hubungan intim ke tangan orang lain, bisa jadi tidak sekarang tapi pada masa yang akan datang. Pasutri tersebut tidak tahu kapan mereka meninggal, hingga memungkinkan mereka meninggal dalam keadaan masih menyimpan video tersebut, hingga suatu hari video mereka ditemukan oleh orang lain.

  1. Melihat aurat diri sendiri adalah perbuatan yang dimakruhkan jika tidak ada kebutuhan.

Pasutri yang mereka video hubungan intim tentu tidak hanya akan melihat aurat pasangan melainkan juga aurat diri sendiri. Padahal, melihat aurat sendiri dimakruhkan jika tidak ada kebutuhan, sebagaimana dinukil oleh Al-Mardawiy dalam Al-Inshaf.

Banyak di antara ulama rabbani yang telah membahas masalah ini, di antaranya adalah para ulama yang duduk di Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’. Dalam fatwa no. 22659, mereka dengan tegas melarang hal itu, dengan teks fatwa (diringkas) sebagai berikut:

Pertanyaan:

ما حكم تصوير ما يحصل بين الزوجين من المعاشرة الزوجية: الجماع وتوابعه؟ مع العلم أنه قد صدرت فتاوى من بعض المحسوبين على العلم في بعض البلدان بجوازه، مع اشتراطهم المحافظة على الشريط حتى لا يتسرب لأحد ؟

Apa hukum merekam video pergaulan suami istri, seperti yang dilakukan oleh sebagian pasutri yang merekam hubungan mereka berupa jima’ dan hal-hal yang berhubungan dengannya? Untuk diketahui telah keluar fatwa dari sebagian orang yang dianggap berilmu di negeri lain yang menghukumi bolehnya hal itu, dengan syarat hasil rekamannya harus terjaga sehingga tidak bocor ke tangan orang lain.

Jawaban:

تصوير ما يحصل من الزوجين عند المعاشرة الزوجية محرم شديد التحريم؛ لعموم أدلة تحريم التصوير، ولما يفضي إليه تصوير المعاشرة الزوجية خصوصا من المفاسد والشرور التي لا تخفى، مما لا يقره شرع ولا عقل ولا خلق، فالواجب الابتعاد عن ذلك، والحرص على صيانة العرض والعورات، فإن ذلك من الإيمان واستقامة الفطرة، ومما يحبه الله سبحانه.

Merekam video pergaulan suami istri, seperti yang dilakukan oleh sebagian pasutri merupakan perbuatan yang diharamkan dengan pengharaman yang keras. Hal ini berdasarkan dalil umum tentang pengharaman pembuatan gambar dan dampak negatif berupa kerusakan dan keburukan yang timbul, khususnya akibat merekam video hubungan pasutri. Dampak negatif ini terkadang tidak terduga dan tidak bisa diterima baik oleh syari’at, akal, maupun akhlaq.

Wajib menghindari hal-hal seperti itu, benar-benar berusaha menjaga kehormatan dan aurat, karena yang demikian merupakan bagian dari iman dan konsistensi dalam menjaga kesucian dan segala hal yang dicintai Allah subhaanah.

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (ketua), Syaikh Abdullah bin Ghudayyan (wakil ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan (anggota) dan Syaikh Bakr Abu Zaid (anggota).

Catatan tulisan:

Penulis beberapa kali memberi penekanan dengan kata “rabbani”, karena memang ada sebagian orang yang dikenal sebagai juru dakwah yang membolehkannya. Walhamdulillah, agama Islam itu selalu menggunakan dalil, bukan “yang penting ada yang membolehkannya”. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk bertanya masalah agama kepada seorang yang rabbani, bukan kepada orang yang sejatinya mengajak manusia ke pintu-pintu neraka.

Demikian apa yang dapat kami tuliskan. Semoga Allah menjadikan kita orang yang menggunakan akalnya untuk berusaha menutup aurat dan aibnya, menjadikan tulisan ini sebagai sarana dakwah yang ikhlas untuk agama-Nya dan menambah faedah ilmu bagi saudara-saudara kami yang membacanya.

Ditulis oleh ustadz: Muflih Safitra bin Muhammad Saad Aly

Balikpapan, 25 Dzulqo’dah 1436 H


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/25721-hukum-sepasang-suami-istri-merekam-video-intim.html